PEMERINTAH
DAERAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
TUGAS AGAMA HINDU
MANAWA DHARMASASTRA
Oleh :
NAMA : NI WAYAN SASTRANINGSIH
No. Absen : 15
KELAS : XI MSc 4
SMA NEGERI 1 GIANYAR
Jl. Ratna No. 1, Telp. (0361) 943034, Fax.(0361)944073
KABUPATEN GIANYAR
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Asung Kertha Wara
Nugraha-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Dan ucapan terima kasih kepada guru pembimbing pelajaran Agama Hindu, berkat
bimbingan beliau saya mampu menyusun
tugas ini sedemikian rupa. Terima kasih pula kepada rekan-rekan yang ikut
berpartisipasi dalam penyusunan tugas ini, semoga apa yang telah kita perbuat
akan bermanfaat di suatu hari nanti.
Saya menyadari dalam penyusunan
laporan ini, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang perlu di
benahi. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari guru
pembimbing dan pembaca sangat diharapkan, guna kesempurnaan tugas berikutnya.
Saran dan kritik itu akan menjadi pedoman dan motivasi penulis di karya-karya
berikutnya, sehingga akan menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Gianyar,
Januari 2015
Penulis
“WEDA” HUKUM HINDU
Hukum
adalah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku
manusia baik perorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang
serasi, tertib dan aman. Manusia dalam kehidupannya sebagai umat beragama dan
sebagai warga negara akan tunduk pada dua kekuasaan hukum yaitu :
1.
Hukum yang berdasarkan pada perundang-undangan negara
seperti: UUD, UUP dan Peraturan-peraturan Daerah.
2.
Hukum yang bersumber pada Kitab Suci yang dianutnya
Khusus
bagi umat Hindu maka yang dijadikan sumber hukum selain UUD adalah Kitab Suci Weda.
Ketentuan mengenai Weda sebagai sumber hukum dapat kita lihat dalam penjelasan
kitab Manawa Dharmasastra II.6 sebagai berikut :
” Wedo’khilo dharma mulam smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadunam atmanasyutir ewa ca”.
Artinya
Seluruh weda merupakan sumber utama dari pada dharma (agama Hindu) kemudian barulah smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati weda. Kemudian secara tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya atmanastuti (rasa puas diri sendiri).
Seluruh weda merupakan sumber utama dari pada dharma (agama Hindu) kemudian barulah smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati weda. Kemudian secara tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya atmanastuti (rasa puas diri sendiri).
“Srutistu wedo wijneo dharmasastrm tu wai smrtih, te
sarwatheswamima-msyetabhyam dharmoho nirbabhau”. (manawa dharmasastra II.10)
Artinya:
Sesungguhnya sruti adalah weda demikianlah pula smrti adalah dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber agama hindu (dharma).
Sesungguhnya sruti adalah weda demikianlah pula smrti adalah dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber agama hindu (dharma).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
yang merupakan sumber utama Hukum Hindu adalah sruti dan smrti. Kebenaran sruti
dan smrti tidak boleh dibantah menurut perkembangan ilmu pengetahuan peninjauan
sumber hukum hindu dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Peninjauan sumber hukum hindu dalam arti sejarah lebih
ditekankan kepada penelitian data-data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum
berdasarkan dokumen tertulis yang ada seperti : kitab suci, kitab UU dan
sebagainya.
2.
Peninjauan sumber hukum hindu dalam arti sosiologi yang
lebih ditujukan pada data-data sosiologi/ilmu kemasyarakatan yang telah
mempunyai aturan-aturan melembaga baik berdasarkan tradisi maupun
pengaruh-pengaruh yang dating kemudian seperti : adat istiadat, loka dresta dan
sebagainya.
3.
Peninjauan hukum hindu dalam arti filsafat merupakan
pencarian rasional kedalam sifat kebenaran realities yang juga memberikan
pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan dari kehidupan ini
4.
Peninjauan sumber hukum hindu dalam arti formil adalah
sumber hukum hindu yang dapat menimbulkan hukum positif yang dibuat oleh
badan/lembaga yang ada.
Tahapan-tahapan penerapan hukum terjadi secara beruntun
yang masing-masing disebut dengan kronologi hukum. Adapun kronologi hukum hindu
sebagai berikut :
1.
Adanya pokok-pokok pikiran yang tinbul dalam masyarakat
bahwa dalam masyarakat timbul satu pertentangan maka pemerintah wajib
menyelesaikan.
2.
Ada badan yudikatif yang dipegang oleh pemerintah yang
bertugas menyidik.
3.
Acara mengadili menurut sastra dengan memanggil
saksi-saksi.
4.
Acara pemeriksaan yang disertai bukti-bukti. Bukti-bukti
tersebut ada empat macam yaitu: lekhya (bukti autentik/tertulis), bhukti (bukti
pemilikan/material), Saksi (bukti saksi), Diwya (bukti sumpah)
Sumber :
Hukum Hindu ( SUMBER-SUMBER
HUKUM HINDU )
oleh : I Nengah Sumantre
Sumber Hukum Menurut Weda
Menurut Manawadharmasastra,
sumber hukum Hindu berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut :
1.
Sruti
2.
Smerti
3.
Sila
4.
Sadacara
5.
Atmanastuti
A.
Sruti sebagai Sumber Hukum
Hindu Pertama
Di
dalam Manawadharmasastra II.10 dikatakan
‘Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerti, te sarwatha wam imamsye tabhyam dharmohi nirbhabhau”.
Artinya: sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smerti itu Dharmasastra,
keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci
yang menjadi sumber dari pada hukum.
Selanjutnya mengenai Weda sebagai sumber hukum utama, dapat kita lihat
dari sloka II.6 dirumuskan sebagai berikut:
Wedo khilo dharma mulam smerti sile ca tad widam, acarasca iwa sadhunam
atmanas tustirewa ca.
Artinya : seluruh Weda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah
smerti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti.
Pengertian Weda sebagai sumber ilmu
menyangkut bidang yang sangat luas sehingga Sruti dan Smerti diartikan sebagai
Weda dalam tradisi Hindu. Sedangkan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah
membatasi arti Weda pada kitab Sruti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti
menurut tradisi Hindu adalah : Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab
Mantra terdiri dari : Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda.
B. Smrti sebagai Sumber Hukum Hindu Kedua
B. Smrti sebagai Sumber Hukum Hindu Kedua
Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang
merupakan kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smrti
bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat authentik, penafsiran
dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang
disebut Dharmasastra.
Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting
adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum
Hindu. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:
1.
Manu
2.
Apastambha
3.
Baudhayana
4.
Wasistha
5.
Sankha Likhita
6.
Yanjawalkya
7.
Parasara
Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan
dianggap sebagai standard dari penulisan Hukum Hindu itu. Secara tradisional
Dharmasastra telah dikelompokkan manjadi empat kelompok menurut jamannya
masing- masing yaitu:
a.
Jaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
b.
Jaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
c.
Jaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha
Likhita.
d.
Jaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara.
C. Sila sebagai Sumber Hukum Hindu Ketiga
Sila di sini berarti tingkah laku. Bila diberi awalan su maka menjadi
susila yang berarti tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku
tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya
tingkah laku para maharsi atau nabi dijadikan standar penilaian yang patut
ditauladani. Kaedah-kaedah tingkah laku yang baik tersebut tidak tertulis di
dalam Smerti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam
pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar
dalam hukum positif.
D. Sadacara sebagai Sumber Hukum Hindu Keempat
Sadacara dianggap sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa
Kuna Sadacara disebut Drsta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran
hukum Sadacara ini, maka hakekat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai
hukum yang telah ada di tempat mana Hindu itu dikembangkan. Dengan demikian
sifat hukum Hindu adalah fleksibel.
E. Atmanastuti sebagai Sumber Hukum Hindu Kelima.
Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri.
Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu hukum, karena setiap keputusan atau
tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif dan
subyektif, oleh karena itu berdasarkan Manawadharmasastra109/115, bila
memutuskan kaedah-kaedah hukum yang masih diragukan kebenarannya, keputusan
diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci
dan logika agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa keadilan dan
kepuasan yang menerimanya.
Sumber:
Manawa Dharma Sastra dan
Kepemimpinan Dalam Hindu
1. Kitab Menawa Dharmaҫastra
Manawa Dharma Sastra adalah salah satu kitab atau ilmu hukum Hindu yang
merupakan kitab Weda Smrti lainnya, Dharma berarti hukum dan Sastra berarti ilmu. Weda Smrti kelompok kedua secara hierarkis sesudah
kelompokWeda Sruti (kelompok kitab-kitab Wahyu), yang dipandang sebagai kitab
hukum Hindu karena didalamnya banyak memuat :
- dharma,
- kewajiban,
dan
- aturan
- aturan hukum umat manusia.
Karena itu,
kitab Smrti juga disebut sebagai Dharmashastra.
Dharmasastra diajarkan oleh Manu, yang
kemudian dikompilasikan oleh Maharshi Brghu. Inilah kitab hukum pertama dalam
Hindu.
Menurut mithologinya, pada jaman satya yuga para manu mendiktekan hukumnya ini dalam seratus ribu
sloka kepada Maharshi Brghu, yang pada gilirannya mengajarkan kepada Rsi Narada. Kemudian
Rsi Narada, berdasarkan pertimbangannya mengurangi aturan itu menjadi dua belas
ribu sloka. Kitab hukum ini kemudian dikurangi lagi menjadi delapan ribu sloka
oleh Rsi Markandeya. Dan
Rsi yang lain, seperti Sumanthu menguranginya lagi menjadi empat ribu sloka.
Akhirnya, Rsi lain yang tidak dikenal, mengurangi lagi menjadi 2.685 sloka.
Manawa Dharmashastra, seperti yang dikenal sekarang ini, terdiri dari
12 Adhyaya (bab atau buku) yang memuat 18 aspek hukum atau Wyawahara yang dapat
dikategorikan dalam bentuk :
- Hukum
perdata agama,
- Hukum
pidana agama,
- serta
peraturan-peraturan yang bersifat mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan
secara umum.
Jadi ia
merupakan kitab hukum Hindu dengan cakupan bahasan yang amat lengkap, luas dan
ber-relevansi keluar maupun kedalam.
Kitab
Menawa Dharmaҫastra dianggap paling penting dan menarik dari kitab-kitab sastra
yang memuat ajaran agama Hindu dan dikenal sebagai salah satu kitab Wedangga,
yaitu kitab Weda yang merupakan batang tubuh dari Weda. Menawa Dharmaҫastra
merupakan salah satu dari Sad Wedangga (enam batang tubuh Weda) dan mempunyai
kedudukan penting dalam masyarakat hindu. Adapun keenam batang tubuh tersebut
yaitu Ciksa, Wyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa.
Kitab
Kalpa merupakan bagian yang terpenting dalam Sad Wedangga yang mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan kitab Menawa Dharmaҫastra, yang dimana kitab
ini berasal dari kitab Brahmana Samhita. Kitab ini terdiri dari empat bagian
yaitu :
a)
Srauta Sutra (membahas upacara
besar)
b) Grihya Sutra (membahas orang yang berumah tangga)
c) Dharma Sutra (membahas pemerintahan)
d)
Sulwa Sutra (membahas tentang
bangunan-bangunan agama).
Contoh
sloka - Sloka yang terkait dengan Manawa Dharmasastra seperti :
- Proses
aguron-guron sulinggih dijelaskan, antara lain dalam Manawa Dharmasastra
II sloka 169 dan 170.
- Tentang perkawinan beda agama, Manawa Dharmasastra 3.27.
- Cuntaka, kebersihan dan
kesehatan batin Manawa Dharmasastra V. 109
- Tentang Acintya, Manawa dharmasastra I.3.
- Fungsi
dan tujuan sembahyang atau yadnya, sloka IV, 14.
- Ciri-Ciri
Sifat Rajas disebutkan dalam Menawadharmasasta XII.32 yang
disebutkan sangat bergairah akan melakukan tugas-tugas pekerjaan ....
- Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai
sarana caru dalam upacara Bhuta Yadnya telah disebutkan dalam
Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan
sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam
penjelmaan berikutnya.
Sumber:
Kerja dan Swadharma Menurut Manawa Dharmasastra
MANAWA DHARMASASTRA
Manawa Dharmasastra tergolong
Weda Smrti, merupakan kitab Dharma, yaitu ajaran kebajikan menurut MahaRsi
Manu. Buku ini disusun secara sistematik dalam 12 adhyaya atau oleh
muridnya Bhagawan Bhrigu. Dharma dimaksudkan disini
diberi arti lebih spesifik, yaitu ajaran hukum hindu yang disebut Vyahara. Fungsinya
untuk mengatur tentang kewajiban dan hak umat hindu, baik sebagai individu
maupun maupun kelompok sosial.
Kitab sumber hukum hindu ini menjadi inspirasi terutama negarawan hindu
yang lahir belakangan dalam rangka menciptaklan tertib sosial di wilayahnyua
masing-masing. Isinya diadaptasi, disesuaikan kebutuhan daerah dan menurut
perkembangan jaman. Diantara teks lontar hukum yang diaanggap bersumber dari
kitab manawa dharmasastra adalah kelompok lontar agama: Adigama, siwa
sesana, Raja sasana, Kutara manawa, dan purwadigama.
Landasan kerja menurut Manawa Dharmasastra :
Setiap perbuatan membuahkan hasil dan konsep ini juga disebut hukum karma
phala, karma yang lahir dari pikiran , perkataan, dan badan menimbulkan akibat
baik atau buruk (MDs, XII:3).
Ada sepuluh karma buruk yang harus dihindari :
1. Tiga perbuatan buruk pikiran ; menginginkan milik orang lain,
berkeinginkan mencelakai orang lain, dan mengikuti ajaran sesat.
2. Empat perbuatan buruk dari perbuatan ; mencemooh, berbohong, memfitnah,
dan berkata kasar.
3. Tiga perbuatan buruk badan ; mencuri, melakukan kekerasaan, dan berzina.
(MDs,
XII:5-7)
Yang berhasil mengendalikan
dirinya, tidak melakukan sepuluh perbuatan terlarang tersebut dipastikan
mencapai keberhasilan yang sempurna.
Ada dua jenis pekerjaan yang baik:
1. prawerti karma yaitu kerja yang dilakukan
untuk mencapai harapan atau hasil tertentu, akan tetapi karma jenis
ini tetap bersifat mengikat, oleh karena itu prawerti karma menyebabkan
seseorang mengalami tumimbal lahir.
2. nirwrti karma yaitu kerja yang dilakukan
atas dasar pengetahuan yang benar, yaitu kerja tanpa menharapkan hasil, dan
dengan demikian menyebabkan seseorang mencapai kebebasan akhir.
Akan tetapi nirwrti karma sungguh
sulit dilaksanakan oleh masyarakat umum. Maharsi Manu lebih memihak prawrti
karma, dasar argumentasinya adalah bahwa secara riil tidak ada suatu perbuatan
apapun yang dilakukan oleh manusia tanpa didasari oleh keinginan, walau memang
secara idealis berbuat karena keinginan untuk mendapat pahala kurang terpuji.
Teks weda toh tetap membenarkan umatnya untuk melaksanakan upacara agama dengan
didasari oleh keinginan, tetapi keinginan yang berdasarkan dharma untuk
mendapat pahala yang baik.
Atas dasar konsep hukum kerja dan
karakter manusia, maka Maharsi Manu menentukan klasifikasi kerja menjadi empat
bagian yang disebut catur warna atau warna dharma :
1. Brahmana warna,
2. Ksatria warna,
3. Waisya warna,
4. Sudra warna.
Untuk mendapatkan kemampuan agar
dapat melaksanakan kewajiban secara profesional, Maharsi Manu mengukuhkan
sistem pendidikan sesuai dengan tahapan hidup manusia sejak dari dalam
kandungan sampai meniggal dunia, tahapan hidup ini disebut catur asrama :
1. Brahmacari asrama,
2. Grehasta asrama,
3. wanaprasta asrama,
4. Sanyasin
Sumber:
Yadnya dalam Manawa Dharmasastra
Dalam Manavadharmasatra VII.10 juga disebutkan bahwa setiap
aktivitas spiritual termasuk yajna hendaknya dilakukan dengan mengikuti;
· Iksa: yajna yang dilakukan dipahami maksud dan tujuannya
· Sakti: disesuaikan dengan tingkat kemampuan baik dana maupun tingkat
pemahaman kita terhadap yajna yang dilakukan sehingga tidak ada kesan
pemborosan dalam yajna tersebut.
· Desa: memperhatikan situasi dimana yajna tersebut dilakukan termasuk
sumber daya alam atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut.
· Kala: kondisi suatu tempat juga harus dipertimbangkan baik kondisi
alam, maupun umat bersangkutan.
· Tattva: dasar sastra yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan
yajna tersebut.
Dalam Manavadharmasastra II.6 ada lima sumber
hukum hindu yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan yajna, yaitu: Sruti, Smrti,
Sila, Acara, dan Atmanastusti.
Jadi beryadnya tidak harus besar dan megah, apalah artinya kemegahan
dengan menghabiskan banyak dhana tapi tidak dilandasi oleh prinsip yajna yang
telah tetuang pada susastra Veda. Kecil, sederhana dan segar, bila dilandasi
oleh kemurnian; yajna seperti inilah yang harus dilakukan dan disosialisasikan terus.
Sumber:
Rumusan Yadnya menurut Manawa Dharmasastra
Kitab Manawa Dharmasastra, III.70
1. Brahma Yadnya =
Persembahan dengan belajar dan mengajar dengan ikhlas
2. Pitra
Yadnya
= Persembahan dengan menghaturkan tarpana dan air kepada leluhur
3. Dewa
Yadnya
= Persembahan menghaturkan minyak dan susu kepada dewa
4. Bhuta
Yadnya
= Persembahan yang dilaksanakan dengan upacara Bali kepada para bhuta
5. Nara
Yadnya
= Yadnya berupa menerima tamu dengan ramah tamah
Kitab Manawa Dharma sastra,III.81
1. Swadyaya yadnya = Persembahan berupa pengabdian kepada guru suci
2. Dewa yadnya = Persembahan buah
masak kepada para dewa
3. Pitra yadnya =
Menghaturkan persembahan upacara sradha kepada leluhur
4. Nara yadnya =
Memberikan makanan kepada masyarakat
5. Bhuta yadnya = Menghaturkan
upacara Bali karma kepada para Bhuta
Sumber :
Arak yg bohong
BalasHapus